Selasa, 06 Juli 2010

Ramadhan Dalam Konteks Dakwah

Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian semua bertaqwa kepadaNya“. (Al-Baqarah: 183)
Ayat-ayat tentang puasa (Ayatush Shiyam) yang tersusun secara berurutan dalam satu surah, yaitu surah Al-Baqarah dari ayat 183-187 seringkali difahami hanya dalam konteks peningkatan amaliah ibadah mahdhah. Padahal secara korelatif, ayatush shiyam selain dari sarat dengan ta’limat ilahiyyah dan taujihat rabbaniyahtentang peningkatan ruhiyah dengan penguatan amaliah ibadah, juga sarat dengan nilai-nilai dakwah dan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Betapa Ramadhan sangat tepat dijadikan munthalaq dakwah untuk lebih mengintensifkan kembali geliat dan gairah dakwah sehingga makna yang mewarnai kehidupan Ramadhan adalah makna-makna dakwah.
Korelasi ayatush shiyam dengan dakwah
Secara korelatif, ayat-ayat yang mendampingi ayatush shiyam, baik ayat-ayat sebelumnya maupun sesudahnya ternyata berbicara tentang dakwah dalam konteks fiqhul mu’amalah dan hokum hudud. Pendampingan dalam penyusunan seperti ini tentu mustahil tanpa hikmah dan pelajaran yang bisa digali darinya. Ayat 178-182 dari surah Al-Baqarah sebelum ayat puasa ternyata berbicara tentang hokum qishash yang merupakan bagian dari target dan realisasi dakwah, yaitu tegaknya hokum-hukum syariat. Redaksi yang digunakan juga mirip dengan redaksi yang digunakan dalam konteks perintah puasa, “Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu (menerapkan) qishash dalam hal pembunuhan”.
Ayat 188 setelah ayat puasa juga berbicara tentang hokum mu’amalah dalam konteks jual beli dan perdagangan, “Janganlah kalian memakan harta diantara kalian dengan cara yang bathil”. Padahal mu’amalah yang dijalankan dengan baik dan benar merupakan satu lagi sasaran dakwah yang harus ditegakkan sehingga akan terjamin kehormatan diri, harta dan masyarakat secara keseluruhan.
Lebih ketara lagi pada ayat 190 dan seterusnya yang berbicara tentang perintah perang yang merupakan bagian dakwah yang terbesar dan terberat, “Perangilah oleh kalian di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian”. Keterkaitan dan korelasi tematis ini menjadi landasan akan pemaknaan bulan Ramadhan dengan makna dakwah disamping makna-makna ibadah dan ukhuwwah.
Ta’amul da’awi di bulan dakwah
Target dari pelaksanaan ibadah puasa yang telah ditetapkan oleh Allah dengan ungkapan pengharapan “la’allakum tattaqun” merupakan jaminan akan peningkatan kebaikan seseorang yang berpuasa dengan benar. Takwa yang diharapkan dari pengalaman menjalani hidup dan kehidupan di bulan Ramadhan bisa dijabarkan sebagai bentuk pembiasaan untuk melakukan amal-amal kebaikan dan pembiasaan untuk meninggalkan amal-amal keburukan. Hasan bin Thalq menyebutkan definisi ini seperti yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya. Takwa yang ditargetkan ternyata sangat terkait dengan bentuk ta’amul dengan Ramadhan.
Ada beberapa bentuk ta’amul (interaksi) yang bisa diaktifkan selama mengikuti amaliah Ramadhan. Namun salah satu bentuk ta’amul yang seharusnya diperhatikan oleh para da’I adalah ta’amul da’awi selain darita’amul ta’abbudi yang menjadi target amaliah kebanyakan orang di bulan Ramadhan. Betapa sejarah Ramadhan masa lalu sarat dengan kegiatan dan aktivitas dakwah. Bahkan kegiatan dakwah terbesar dan terberat justru terjadi di bulan Ramadhan.
Perang Badar yang merupakan perang perdana untuk menunjukkan eksistensi dakwah Islam justru terjadi di bulan puasa. (lihat surah Al-Anfal: 41). Padahal pada saat itu, Rasulullah dan para sahabat hanya mempersiapkan perlengkapan untuk menghadang kafilah dagang Abu Sufyan. Bukan untuk menghadapi pasukan Quraisy yang bersenjata lengkap. Namun jalan dakwah yang sudah diyakininya tidak mengenal kamus “mundur kembali ke garis start”. Justru dengan modal keyakinan akan janji Allah dan pembuktian akan satu komitmen yang totalitas terhadap dakwah Islam, beliau maju menghadapi berbagai rintangan, tribulasi dan setiap ujian yang menghadang di jalur dakwah. Saat pertempuran semakin sengit, Rasulullah bermunajat, “Ya Allah, jika pasukan ini hancur pada hari ini, tentu Engkau tidak akan disembah lagi ya Allah, kecuali jika memang Engkau menghendaki agar Engkau tidak disembah selamanya setelah hari ini”.
Pembukaan atau Fathu Makkah yang merupakan perjalanan dakwah terakhir Rasulullah juga terjadi dan memilih Ramadhan sebagai bulan kemenangan dakwah yang gilang gemilang. Ternyata Ramadhan merupakan pilihan yang tepat dan terbaik untuk meraih kemenangan dakwah.
Menjelang Ramadhan tiba, Rasulullah selaku pemimpin para da’i, menyampaikan satu pidato kenegaraan yang bernuansa dakwah, mengajak seluruh umat memanfaatkan bulan Ramadhan sebaik-baiknya, meraih sebanyak-banyaknya keberkahan bulan ini. Berkah dalam arti katsratul khair wal manafi’ banyak kebaikan dan manfaat yang bisa diraih darinya. Dan nantinya, kebaikan dan manfaat itu akan bertambah jika disampaikan kepada orang lain dalam bentuk dakwah yang berkesinambungan. Inilah esensi dakwah yang harus dirasakan selama mengikuti aktivitas Ramadhan.
Ada beberapa target dakwah yang layak untuk dipersiapkan oleh para kader sebagai bekal menghadapi ujian dakwah pasca Ramadhan, diantaranya:
Target menghargai waktu
Ibnul Qayyim rahimahuLlah menegaskan substansi dan nilai waktu dalam kehidupan manusia, “Sebenarnya waktu yang dimiliki oleh manusia adalah umurnya sendiri yang terus berjalan perlahan seperti gerakan awan. Setiap waktu yang digunakan untuk Allah, itulah kehidupan dan umurnya. Sementara itu, waktu yang digunakan selain dengan tujuan tersebut tidak dianggap sebagai waktu (yang berarti) bagi hidupnya. Jika dia terus hidup, maka hidupnya sama dengan kehidupan binatang. Jika dia menghabiskan waktu dalam keadaan lalai, lupa diri, dan membangun harapan-harapan bathil, maka waktu terbaik yang dilaluinya adalah ketika tidur dan menganggur. Maka orang tersebut lebih baik mati daripada terus bertahan hidup”. (Al-Jawab Al-Kafi)
Ungkapan Ibnul Qayyim sangat tepat untuk diperhatikan dalam konteks Ramadhan. Betapa banyak waktu yang terkadang terbiar tanpa aktivitas di bulan ini. Padahal keutamaan yang disediakan oleh Ramadhan memiliki motivasi tersendiri untuk memenuhi waktu demi waktu di bulan ini dengan amal sholeh.
Ibnu Mas’ud radiyaLlahu anhu mengingatkan kepada kita akan penyesalan waktu yang tidak bermanfaat, “Aku tidak pernah menyesali sesuatu seberat penyesalanku terhadap satu hari dimana matahari sudah tenggelam dan umurku berkurang, namun amal kebaikanku tidak bertambah”.
Dalam konteks dakwah, waktu adalah harta yang paling berharga bagi seorang da’i, karena waktu adalah modal utamanya. Aktivitas dakwah mustahil bisa mencapai tujuan dan merealisasikan sasarannya, kecuali jika ia bisa menggunakan dan mengoptimalkan waktunya dengan sungguh-sungguh. Ramadhan mengajar banyak kepada para da’I akan penting dan berartinya waktu. Bahkan ada waktu yang lebih baik dan lebih besar nilainya dari seribu bulan, yaitu lailatul qadar. Dan itu hanya Allah sediakan di bulan Ramadhan.
Target keteladanan
Berdakwah dalam arti menyeru manusia kepada kebaikan, jika disertai dengan penyimpangan perilaku para da’inya merupakan penyakit yang akan menimbulkan kebimbangan dalam diri. Bukan hanya pada diri seorang da’I tetapi berakibat juga terhadap dakwah. Dalam konteks dakwah saat ini, masyarakat sangat menanti dan mendambakan lahirnya teladan yang membuat mereka yakin akan seluruh ajaran Islam. Jika tidak, mereka tidak lagi percaya kepada agama ini setelah terlebih dahulu kehilangan kepercayaan kepada pada da’I ang menyebarkannya. (Muhd. Abduh, Madza Ya’ni Intima’i liddakwah).
Keteladan seorang da’i merupakan pilar utama kesuksesan dakwah. Keteladan Rasulullah saw yang diungkapkan oleh Aisyah ra “akhlaknya adalah Al-Qura’n” merupakan kunci utama kesuksesan dan penerimaan dakwah beliau. Maka Ramadhan merupakan momen penting untuk membangun keteladanan; keteladanan dalam bersikap, bertingkah laku, keteladanan dalam kesabaran, keteladanan dalam beramal dan keteladanan dalam membangun persaudaraan diantara sesame muslim untuk dijadikan sarana dakwah. Semua keteladanan itu ternyata merupakan petunjuk praktis dan aturan main amaliah Ramadhan.
Target wirid harian
Satu ayat yang disisipkan di tengah-tengah ayatush shiyam adalah ayat 186 yang berbicara tentang do’a dan dzikir, “Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka katakanlah Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permintaan hambaKu jika ia memohon kepadaKu”. Penyisipan ayat ini mengisyaratkan bahwa amaliah Ramadhan hendaklah senantiasa diiringi dengan doa memohon pertolongan dan kekuatan dariNya, apalagi dalam konteks dakwah, sangat tepat jika wirid dan doa ini senantias menghiasi kehidupan para da’i.
Wirid merupakan sarana membersihkan diri dan beribadah kepada Allah sekaligus sebagai bekal selama menempuh perjalanan dakwah. Ada tiga bentuk wirid yang sangat baik untuk diperbanyak di bulan Ramadhan sebagai sentuhan energi dan kekuatan dalam berdakwah; wirid do’a seperti istighfar, tasbih, tahmid, takbir, tahlil, tilawah Qur’an dan wirid kalimah thoyyibah lainnya. Wirid robithah untuk memperkuat hubungan bathin diantara sesame da’I sebagai bentuk do’a an dzharil ghayb yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw. Wirid muhasabah dalam bentuk mengingat dan mengevaluasi seluruh aktivitas dakwah yang dilakukan pada hari itu. Jika ada kebaikan, segeralah mensyukurinya dan jika ada kekurangan dan kekhilafan, segeralah untuk memohon ampunan dan memanjatkan doa kepada Allah, lalu bertobat untuk memperbaiki gerak dakwah di masa yang akan datang.
Wirid-wirid harian ini terasa akan lebih efektif jika dilaksanakan saat menjelang malam hari berbarengan dengan aktivitas qiyamul lail. Kekuatan doa dan wirid akan memperkuat langkah dan azam dakwah “Doa adalah senjata orang yang beriman”. Dan bulan Ramadhan adalah syahrul maghfirah waddu’a.
Target-target da’awi di bulan Ramadhan
Syekh Musthafa Masyhur menekankan akan pentingnya tarbiyah dalam konteks dakwah, “Salah satu prinsip mendasar yang sangat ditekankan oleh Imam Syahid Hasan Al-Banna dan harus kita jaga adalah memberi perhatian terhadap masalah tarbiyah dan aspek ritual. Kedua hal ini ibarat ruh yang ada pada tubuh manusia, baik dalam skala individu maupun dalam skala jama’ah. Imam Hasan Al-Banna rahimahuLlah yakin bahwa seorang muslim yang berpegang teguh dengan sifat-sifat orang yang beriman adalah fondasi utama harakah, pembinaan dan usaha untuk merealisasikan tujuan-tujuan dakwah. Dialah yang membangun keluarga muslim, masyarakat muslim dan Negara muslim. Ketika unsur ini kokoh, maka proses pembangunan akan berjalan setahap demi setahap dengan kokoh dan baik, begitupula sebaliknya”. (Fiqhud Da’wah).
Ramadhan yang dikenal juga dengan syahrul ibadah merupakan bulan untuk memperkuat hubungan dengan Wali dan Pelindung para da’i. karena seorang da’i sejati adalah seorang abid (seorang yang taat beribadah) kepada Allah, taat kepada ajaranNya dan tunduk kepada kebesaranNya. Kekurangan dalam melakukan ibadah, terutama ibadah fardhu akan menghempaskan aktivis dakwah. Bahkan dia akan kehilangan keteladan dalam berdakwah.
Dalam skala keluarga, pembiasaan bangun malam bersama seluruh anggota keluarga di bulan Ramadhan harus menjadi agenda harian yang berkesinambungan pasca Ramadhan sebagai bagian dari komitmen dakwah kita. Kajian-kajian keislaman yang semakin marak merupakan momen yang tidak boleh terlupakan untuk mengisi dengan muatan-muatan dakwah disamping muatan-muatan ruhiyah.
Momen silaturahim yang banyak berlangsung di awal maupun di akhir Ramadhan yang diakhiri dengan momen idul fithri merupakan fenomena yang bisa ditangkap makna dakwah di dalamnya jika kita mampu mengintensifkan nilai-nilai dakwah di dalamnya, selain dari rutinitas yang bisa dijalankan.
Kekerapan seseorang berada di masjid-masjid dan tempat-tempat kebaikan merupakan nilai positif dakwah yang harus ditangkap untuk perluasan dan medan tadrib da’awi. Semuanya merupakan indikasi bahwa Ramadhan memang bulan yang dijadikan oleh Allah sebagai munthalaq dakwah untuk kembali memaknai kehidupan dakwah kita, mengevaluasi dan mengefektifkan kembali sayap-sayap dakwah sehingga geliat dan bahana dakwah akan lebih terasa intensivitasnya pasca Ramadhan. Semoga makna-makna dakwah Ramadhan lebih banyak ditangkap oleh para aktivis dakwah di jalan Allah.

Niat Dan Persatuan

Niat adalah hal yang sangat mendasar dalam ajaran Islam. Seluruh amal perbuatan kita tanpa niat tidak akan diterima Allah swt. Bahkan, niatlah yang menjadi pembeda mana amal yang bersifat ibadah dan mana yang bukan. Mandi pagi bisa bernilai ibadah, bisa juga hanya rutinitas sehari-hari, itu tergantung apa yang kita niatkan saat melakukannya.
Karena itu, meluruskan niat merupakan perkara yang mendasar. Apakah niat kita dalam berdakwah? Sudahkan Lillahi Ta’ala. Ikhlas hanya mengharapkan mardhatillah, keridhaan Allah. Bukan karena mengincar jabatan, kekayaan, popularitas, atau mengejar wanita yang ingin diperistri, seperti yang diilustrasikan Rasulullah saw. dalam hadits tentang niat.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا
أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan. (Bukhari)
Jika niat kita ikhlas Lillahi Ta’ala, maka itulah perjanjian kita di hadapan Allah swt. Lantas, sudahkan kita teguh dengan al-ahd (perjanjian) itu? Allah swt. mengabarkan kepada kita tentang para dai sebelum kita. Mereka memiliki keteguhan dalam memegang janjinya. “Diantara orang-orang mukmin itu ada golongan yang membenarkan janjinya kepada Allah, sebagian diantaranya telah menunaikan janjinya (dengan menemui kesyahidan) dan sebagian lagi masih menanti, tanpa mengubah janji itu sedikitpun”. (Al Ahzab: 23)
Karena itu, tak salah jika kita selalu mengulang-ulang ikrar keikhlasan janji kita di setiap kali menunaikan shalat, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku untuk Allah Pencipta alam semesta.” (Al-An’am: 162). Secara sadar kita meluruskan niat kita dalam sehari setidaknya lima kali.
Benarkah seluruh kehidupan kita akankah kita korbankan untuk kehidupan tak ada batasnya di akhirat nanti? Atau, hanya untuk mengejar kedudukan di dunia? Orang yang cerdas pasti tidak mau. Sebab, kita tahu nilai dunia itu tidak seberapa. Kata Nabi saw.,
لَوْ كَانَتْ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
“Seandainya dunia ini ditimbang, maka nilainya di sisi Allah sama seperti salah satu sayap nyamuk. Allah tidak akan memberikan di dunia ini, walaupun seteguk air saja, untuk orang-orang yang ingkar.” (H.R. Tirmidzi, no. 2242, shahih gharib)
Selain itu, dari ayat 23 surat Al-Ahzab, kita juga mengambil pelajaran bahwa al-istimroriyah, kontinuitas di jalan dakwah, adalah termasuk dalam salah satu perjanjian kita di hadapan Allah. Dan memang begitulah yang dicontohkan oleh para dai generasi awal Islam yang dibimbing oleh Rasulullah saw. Mereka tidak kenal lelah dan putus asa. Sahabat-sahabat Nabi saw. menjalani setiap fase dakwah berikut cobaan demi cobaan berat yang harus mereka lalui.
Kepada mereka, Rasulullah saw. menceritakan pengalaman dai generasi sebelumnya. Mereka ada yang digergaji, tetapi mereka tetap sabar. Itu bukan untuk menganggap kecil cobaan yang dihadapi oleh para sahabat. Fitnah yang mereka terima bukan hanya berupa intimidasi kata-kata, tetapi sudah berlumuran darah.
Apa yang membuat para sahabat bisa demikian teguh di medan dakwah? Husnu tsiqah dan bersandar terus kepada Allah Ta’ala lah yang memberikan ketenangan kepada mereka semua untuk terus langkah. Dengan begitu mereka bisa tenang dan tegar, meski zaman ini cepat sekali berubah tanpa terasa. Seorang tabi’in(generasi setelah sahabat Nabi) berkata, “Ayahku bercerita kepadaku: ‘Aku melihat Romawi menjatuhkan Persia, kemudian aku melihat pula Persia menjatuhkan Romawi. Dan, akhirnya aku melihat Islam meruntuhkan kedua-duanya hanya dalam waktu 15 tahun saja”. Tumbangnya Persia dan Romawi oleh kekuatan Islam hanya memakan waktu tak lebih dari 15 tahun. Begitulah capaian dakwah yang diasung oleh dai-dai yang ikhlas, teguh dalam memegang perjanjiannya dengan Allah, dan beramal secara kontinu tiada henti. Itulah buah dari kekuatan iman.
Namun bila hasil dakwah yang ditargetkan tidak seperti yang diharapkan, seorang dai masih bisa berharap mudah-mudahan kecapaian dan kelelahannya dalam berdakwah semuanya dihitung di sisi Allah Ta’ala, sekurang-kurangnya sebagai kaffaratun li adz dzunub (menghapus dosa). Begitulah yang disabdakan Rasulullah saw. dalam hadits nomor 5210 yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan keletihan, kekhawatiran dan kesedihan, dan tidak juga gangguan dan kesusahan bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus dosa-dosanya.”
Bukankah penghapusan dosa itu sudah lebih bagus daripada sekadar mendapat jabatan dunia. Khairun min ad-dunya wa maa fiiha (lebih baik dari dunia dan seisinya). Setiap hari berapa dosa yang kita pikul? Jika Allah mengampuninya, itu lebih baik dari segala-galanya.
*****
Perkara yang kedua yang harus selalu dilakukan oleh para dai adalah merapatkan barisan. Hal ini harus menjadi visi para dai bahwa mereka punya peran sebagai perekat umat. Karena itu, setiap dai harus punya spirit “kita bergabung dan bertemu menjadi kokoh dalam satu barisan tanpa merasa diri paling benar (‘ala ghairil ashwab), itu jauh lebih baik daripada kita terpisah-pisah dalam posisi merasa diri paling benar (ashwab)”. Begitulah perintah Allah swt. kepada kita.
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Ali Imran: 103)
Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (Ash-Shaf: 4)
Suatu ketika beberapa orang sahabat datang kepada Rasulullah Saw, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah. “Kami semua makan, ya Rasulullah, tapi tidak pernah merasa kenyang,” kata sahabat. Coba perhatikan, bagaimana Rasulullah mengajarkan kepada kita suatu adab dan akhlak yang baik. Apa jawab Rasulullah atas pertanyaan sahabat tadi?
“Boleh jadi kamu makan sendiri-sendiri?” Beliau bertanya lebih lanjut. Maka, sahabat kemudian menjawab, “Benar, ya Rasulullah.” Maka Rasulullah bersabda: “Kullu (kalian diharuskan untuk makan) mujtami’in (bersama-sama) fa inna al barakah ma’al jama’ah (karena keberkahan selalu beserta mereka yang berjamaah).” Istilah al-jamaah yang dimaksudn adalah jama’atul muslimin. Untuk makan saja Rasulullah saw. menyuruh kita untuk berjama’ah, apalagi untuk berdakwah. Karena itu, para dai harus berperan sebagai penggalang persatuan umat. Apapun kekurangan yang terdapat dalam tubuh umat, itulah kondisi faktual yang harus kita perbaiki dalam kebersamaan. Para dai harus mengajak semua komponen umat untuk bersatu memperbaiki segenap kekurangan yang ada di tubuh umat ini.
Memang sulit menyatukan umat dalam satu barisan yang kokoh. Tapi, apa pun yang bisa kita capai dan itu belum termasuk kategori menggembirakan hasilnya, itu bukan sebuah kegagalan. Kita semua menyadari dalam kamus seorang dai tidak ada ada entri kata “kekalahan”. Para dai selalu “menang”, bila tidak di dunia, maka kemenangan di akhirat. Orang boleh menilai agenda penyatuan umat yang kita dakwahkan tidak membuahkan hasil yang signifikan, tetapi kita melihat kenyataan itu sebagai perkara yang paling baik buat kita semua saat ini.
Bisa jadi itu juga cara Allah swt. menguji keteguhan kita dalam berdakwah. Tujuannya adalah untuk memberi motivasi dan dorongan kita agar semakin gigih dalam berdakwah. Sa’id Hawwa dalam bukunya “Al Madkhal” bercerita tentang berbagai ujian. Ia mengatakan, ”Man lam yakun lahu bidayah muhriqah laisa lahu nihayah musyriqah.” Barangsiapa tidak memulai dengan muhriqah (sesuatu yang membuat terbakar, penuh semangat dan kesusahan), maka tidak akan mendapat akhir yang musyriqah (cemerlang).”
Semoga kita bisa menegakkan dua perkara ini dalam keseharian aktivitas dakwah kita. Amin.

Minggu, 04 Juli 2010

Bungkus Godaan Setan

                                                   
يَقُوْلُ مُصْطَفَى اَلسِّبَاعِيُّ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِDR. Musthafa As-Siba’i rahimahullah berkata:
إِنِّيْ لاَ أَخْشَى عَلَى نَفْسِيْ أَنْ يُغْرِيْنِي الشَّيْطَانُ بِالْمَعْصِيَةِ مُكَاشَفَةً.. وَلَكِنَّيْ أَخْشَى أَنْ يَأْتِيَنِيْ بِهَا مُلَفَّعَةً بِثَوْبٍ مِنَ الطَّاعَةِ..Saya tidak mengkhawatirkan diriku digoda oleh setan melalui maksiat secara terbuka… akan tetapi saya khawatir setan datang kepadaku dengan membawa maksiat yang dibungkus dengan baju ketaatan..
يُغْرِيْكَ الشَّيْطَانُ بِالْمَرْأَةِ عَنْ طَرِيْقِ الرَّحْمَةِ بِهَا.. وَيُغْرِيْكَ بِالدُّنْيَا عَنْ طَرِيْقِ الْحَيْطَةِ مِنْ تَقَلُّبَاتِهَا..Setan menggodamu dengan wanita dengan alasan kasihan kepadanya … dan menggodamu dengan dunia dengan alasan agar tidak menjadi korban gonjang-ganjingnya..
وَيُغْرِيْكَ بِمُصَاحَبَةِ الأَشْرَارِ عَنْ طَرِيْقِ اْلأَمَلِ فِيْ هِدَايَتِهِمْ.. وَيُغْرِيْكَ بِالنِّفَاقِ لِلظَّالِمِيْنَ عَنْ طَرِيْقِ الرَّغْبَةِ فِيْ تَوْجِيْهِهِمْ..Dan menggodamu untuk berkawan dengan orang-orang buruk dengan alasan demi memberi petunjuk kepada mereka dan menggodamu untuk bersikap munafik kepada orang-orang zhalim dengan alasan ingin mengarahkan mereka..
وَيُغْرِيْكَ بِالتَّشْهِيْرِ بِخُصُوْمِكَ عَنْ طَرِيْقِ اْلأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ.. وَيُغْرِيْكَ بِتَصْدِيْعِ وِحْدَةِ الْجَمَاعَةِ عَنْ طَرِيْقِ الْجَهْرِ بِالْحَقِّ..Dan menggodamu untuk mempublikasi keburukan lawan-lawanmu dengan alasan demi melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan menggodamu untuk memecah belah jama’ah dengan alasan lantang menyuarakan kebenaran..
وَيُغْرِيْكَ بِتَرْكِ إِصْلاَحِ النَّاسِ عَنْ طَرِيْقِ الاِشْتِغَالِ بِإِصْلاَحِ نَفْسِكَ.. وَيُغْرِيْكَ بِتَرْكِ الْعَمَلِ عَنْ طَرِيْقِ الْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ..Dan menggodamu agar tidak memperbaiki orang lain dengan alasan sibuk memperbaiki diri sendiri dan menggodamu untuk tidak beramal dengan alasan ini sudah menjadi takdir..
وَيُغْرِيْكَ بِتَرْكِ الْعِلْمِ عَنْ طَرِيْقِ الاِنْشِغَالِ بِالْعِبَادَةِ.. وَيُغْرِيْكَ بِتَرْكِ السُّنَّةِ عَنْ طَرِيْقِ اِتِّبَاعِ الصَّالِحِيْنَ..Dan menggodamu untuk tidak menuntut ilmu dengan alasan sibuk beribadah dan menggodamu untuk meninggalkan sunnah dengan alasan mengikuti orang-orang shalih..
وَيُغْرِيْكَ بِالاِسْتِبْدَادِ عَنْ طَرِيْقِ الْمَسْؤُوْلِيَّةِ أَمَامَ اللهِ وَالتَّارِيْخِ.. وَيُغْرِيْكَ بِالظُّلْمِ عَنْ طَرِيْقِ الرَّحْمَةِ بِالْمَظْلُوْمِيْنَ..Dan menggodamu agar otoriter dengan alasan demi tanggung jawab di hadapan Allah dan sejarah dan menggodamu untuk berbuat zhalim dengan alasan demi memberikan kasih sayang kepada mereka yang terzhalimi..


Diterjemahkan oleh: Ust. Musyaffa A. R.
(hdn)

Jangan Lari Dari Ujian Hidup

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
dakwatuna.com – “Sesungguhnya besarnya balasan tergantung dari besarnya ujian, dan apabila Allah cinta kepada suatu kaum Dia akan menguji mereka, barangsiapa yang ridha, maka baginya keridhaan Allah; namun barangsiapa yang murka, maka baginya kemurkaan Allah.”
Sabda Rasulullah saw. ini ada dalam Kitab Sunan Tirmidzi. Hadits 2320 ini dimasukkan oleh Imam Tirmidzi ke dalam Kitab “Zuhud”, Bab “Sabar Terhadap Bencana”.
Hadits Hasan Gharib ini sampai ke Imam Tirmidzi melalui jalur Anas bin Malik. Dari Anas ke Sa’id bin Sinan. Dari Sa’id bin Sinan ke Yazid bin Abu Habib. Dari Yazid ke Al-Laits. Dari Al-Laits ke Qutaibah.
Perlu Kacamata Positif
Hidup tidak selamanya mudah. Tidak sedikit kita saksikan orang menghadapi kenyataan hidup penuh dengan kesulitan. Kepedihan. Dan, memang begitulah hidup anak manusia. Dalam posisi apa pun, di tempat mana pun, dan dalam waktu kapan pun tidak bisa mengelak dari kenyataan hidup yang pahit. Pahit karena himpitan ekonomi. Pahit karena suami/istri selingkuh. Pahit karena anak tidak saleh. Pahit karena sakit yang menahun. Pahit karena belum mendapat jodoh di usia yang sudah tidak muda lagi.
Sayang, tidak banyak orang memahami kegetiran itu dengan kacamata positif. Kegetiran selalu dipahami sebagai siksaan. Ketidaknyamanan hidup dimaknai sebagai buah dari kelemahan diri. Tak heran jika satu per satu jatuh pada keputusasaan. Dan ketika semangat hidup meredup, banyak yang memilih lari dari kenyataan yang ada. Atau, bahkan mengacungkan telunjuk ke langit sembari berkata, “Allah tidak adil!”
Begitulah kondisi jiwa manusia yang tengah gelisah dalam musibah. Panik. Merasa sakit dan pahit. Tentu seorang yang memiliki keimanan di dalam hatinya tidak akan berbuat seperti itu. Sebab, ia paham betul bahwa itulah konsekuensi hidup. Semua kegetiran yang terasa ya harus dihadapi dengan kesabaran. Bukan lari dari kenyataan. Sebab, ia tahu betul bahwa kegetiran hidup itu adalah cobaan dari Allah swt. “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)
Hadits di atas mengabarkan bahwa begitulah cara Allah mencintai kita. Ia akan menguji kita. Ketika kita ridha dengan semua kehendak Allah yang menimpa diri kita, Allah pun ridha kepada kita. Bukankah itu obsesi tertinggi seorang muslim? Mardhotillah. Keridhaan Allah swt. sebagaimana yang telah didapat oleh para sahabat Rasulullah saw. Mereka ridho kepada Allah dan Allah pun ridho kepada mereka.
Yang Manis Terasa Lebih Manis
Kepahitan hidup yang dicobakan kepada kita sebenarnya hanya tiga bentuk, yaitu ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta. Orang yang memandang kepahitan hidup dengan kacamata positif, tentu akan mengambil banyak pelajaran. Cobaan yang dialaminya akan membuat otaknya berkerja lebih keras lagi dan usahanya menjadi makin gigih. Orang bilang, jika kepepet, kita biasanya lebih kreatif, lebih cerdas, lebih gigih, dan mampu melakukan sesuatu lebih dari biasanya.
Kehilangan, kegagalan, ketidakberdayaan memang pahit. Menyakitkan. Tidak menyenangkan. Tapi, justru saat tahu bahwa kehilangan itu tidak enak, kegagalan itu pahit, dan ketidakberdayaan itu tidak menyenangkan, kita akan merasakan bahwa kesuksesan yang bisa diraih begitu manis. Cita-cita yang tercapai manisnya begitu manis. Yang manis terasa lebih manis. Saat itulah kita akan menjadi orang yang pandai bersyukur. Sebab, sekecil apa pun nikmat yang ada terkecap begitu manis.
Itulah salah satu rahasia dipergilirkannya roda kehidupan bagi diri kita. Sudah menjadi ketentuan Allah ada warna-warni kehidupan. Adakalanya seorang menatap hidup dengan senyum tapi di saat yang lain ia harus menangis.
Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Ali ‘Imran: 140)
Begitulah kita diajarkan oleh Allah swt. untuk memahami semua rasa. Kita tidak akan mengenal arti bahagia kalau tidak pernah menderita. Kita tidak akan pernah tahu sesuatu itu manis karena tidak pernah merasakan pahit.
Ketika punya pengalaman merasakan manis-getirnya kehidupan, perasaan kita akan halus. Sensitif. Kita akan punya empati yang tinggi terhadap orang-orang yang tengah dipergilirkan dalam situasi yang tidak enak. Ada keinginan untuk menolong. Itulah rasa cinta kepada sesama. Selain itu, kita juga akan bisa berpartisipasi secara wajar saat bertemu dengan orang yang tengah bergembira menikmati manisnya madu kehidupan.
Bersama Kesukaran Selalu Ada Kemudahan
Hadits di atas juga berbicara tentang orang-orang yang salah dalam menyikapi Kesulitan hidup yang membelenggunya. Tidak dikit orang yang menutup nalar sehatnya. Setiap kegetiran yang mendera seolah irisan pisau yang memotong syaraf berpikirnya. Kenestapaan hidup dianggap sebagai stempel hidupnya yang tidak mungkin terhapuskan lagi. Anggapan inilah yang membuat siapa pun dia, tidak ingin berubah buat selama-lamanya.
Parahnya, perasaan tidak berdaya sangat menganggu stabilitas hati. Hati yang dalam kondisi jatuh di titik nadir, akan berdampat pada voltase getaran iman. Biasanya perasaan tidak berdaya membutuhkan pelampiasan. Bentuk bisa kemarahan dan berburuk sangka. Di hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi di atas, bukan hal yang mustahil seseorang akan berburuk sangka terhadap cobaan yang diberikan Allah swt. dan marah kepada Allah swt. “Allah tidak adil!” begitu gugatnya. Na’udzubillah! Orang yang seperti ini, ia bukan hanya tidak akan pernah beranjak dari kesulitan hidup, ia justru tengah membuka pintu kekafiran bagi dirinya dan kemurkaan Allah swt.
Karena itu, kita harus sensitif dengan orang-orang yang tengah mendapat cobaan. Harus ada jaring pengaman yang kita tebar agar keterpurukan mereka tidak sampai membuat mereka kafir. Mungkin seperti itu kita bisa memaknai hadits singkat Rasulullah saw. ini, “Hampir saja kemiskinan berubah menjadi kekufuran.” (HR. Athabrani)
Tentu seorang mukmin sejati tidak akan tergoyahkan imannya meski cobaan datang bagai hujan badai yang menerpa batu karang. Sebab, seorang mukmin sejati berkeyakinan bahwa sesudah kesulitan ada kemudahan. Setelah hujan akan muncul pelangi. Itu janji Allah swt. yang diulang-ulang di dalam surat Alam Nasyrah ayat 5 dan 6, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.